Sejenak saya melihat perjalanan kebelakang, tidak sedikit organisasi atau lebih tepatnya komunitas yang di dalamnya banyak disibukkan dalam aktivitas tukar pikiran bahkan tak jarang terjadi “perkelahian” berupa perdebatan logis, memiliki dasar dan disampaikan dengan cara yang baik. Namun perkelahian itu berakhir seiring dengan selesainya diskusi. Kemudian kita bisa memilih meminum kopi bersama sambil berkelakar dengan humor pilihan masing-masing. Asik kan?
Sabtu, 21 Februari 2015
Mari terus budayakan diskusi
Sejenak saya melihat perjalanan kebelakang, tidak sedikit organisasi atau lebih tepatnya komunitas yang di dalamnya banyak disibukkan dalam aktivitas tukar pikiran bahkan tak jarang terjadi “perkelahian” berupa perdebatan logis, memiliki dasar dan disampaikan dengan cara yang baik. Namun perkelahian itu berakhir seiring dengan selesainya diskusi. Kemudian kita bisa memilih meminum kopi bersama sambil berkelakar dengan humor pilihan masing-masing. Asik kan?
Saat usia
remaja –sekitar SMA kelas 2– saya diajak teman tetangga rumah untuk mengikuti
perkumpulan remaja kampung, tepatnya kompleks perumahan. Lumayan bisa makan
gratis, dapat teman-teman baru, kalau beruntung bisa berkenalan dengan kembang
desa. Pikirku. Wkwkw…
Tak tik tak
tik tuk…
Sekitar lima
kali mengikuti perkumpulan tersebut, saya merasa bosan. Hanya ada pembacaan
yasin, arisan, makan-makan dan pulang. Tentu saja sebagai seorang Muslim saya
senang dengan acara perkumpulan yang di dalamnya ada aktivitas pembacaan ayat
suci Al-Qur’an namun alangkah lebih baiknya jika ada kegiatan tambahan yang
lebih “nyetrum”. Unek-unek pun saya sampaikan kepada ketua. Mungkin saran itu
hanya menjadi angin lalu yang benar-benar berlalu. Saya rasa komunitas baru
yang benar-benar bisa menjadi wadah remaja dan segarnya pemikiran pemuda harus
dibentuk. Komunitas yang mampu menghadapi perubahan masyarakat seperti yang
dituliskan Erickson dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (FIP UPI, 2009): karena
lingkungan manusia senantiasa mengalami perkembangan maka upaya menciptakan
budaya belajar pada suatu masyarakat selain harus mengikuti perubahan dan
sekaligus menyesuaikan perubahan itu dengan sistem nilai-nilai, norma-norma dan
aturan-aturan, agar modifikasi budaya belajar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Akhirnya
beberapa kawan diantaranya Buyung, Malik, Reza dan saya sepakat membentuk yang
namanya “Organisasi Remaja Masjid Darussalam (ORMASDA)”. Sebuah organisasi
remajadengan markas pusat di Masjid Darussalam, salah satu masjid di kompleks
perumahan kami tinggal. Entahlah, ini disebut organisasi tandingan atau bukan,
kami tidak terlalu menghiraukannya, yang jelas idealisme kami hanya satu yaitu
untuk menghidupkan daya kritis masa remaja, masa ideal untuk mengukir prestasi.
Kalau kata pak Haji Rhoma: masa muda masa yang berapi-api… Goyang mang,
Tssaah…. Kegiatan demi kegiatan pun kami buat, mulai dari diskusi rutin,
mengadakan bimbingan belajar, try out bagi siswa yang hendak ujian
nasional, pentas seni, fashion show, dan membantu hajatan masyarakat jika
dibutuhkan. Yah, tentu saja roda organisasi ini berputar dengan segala
kekurangannya. Maklum lah anak SMA, yang minim pengalaman.
Tak tik tak
tik tuk…
Tahun 2006,
saya harus meninggalkan kampung halaman tercinta Pamekasan pindah ke
Jogjakarta. Jogjakarta? Siapa yang tak kenal kota ini, banyak istilah yang
dilontarkan untuk kota ini seperti kota pelajar, kota seni, kota gudek dan
tidak sedikit pahlawan Nasional yang berasal dari kota ini sebut saja Ki Hadjar
Dewantara, KH Ahmad Dahlan, dr. Wahidin Soedirohoesodo, Sri Sultan
Hamengkubuwono, Pangeran Diponegoro. Dan termasuk orang-orang yang sukses
setelah belajar di Jogja meskipun terlahir di luar Jogja seperti Cak Nun (lahir
di Jombang), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (lahir di
Pangandaran) yang sangat nyentrik itu kan beliau pernah sekolah di SMAN 1
Yogyakarta meskipun tak sampai lulus.
Saya merasa
beruntung pernah mengenyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga dan UGM. Banyak
kawan-kawan sebaya yang saya kagumi. Mereka muda, seumuran dengan saya, namun
mereka sudah berada di atas panggung, berorasi dengan berapi-api bak tokoh
favoritku Soekarno; jago menulis; jago bernegosiasi; ada juga yang punya
kreativitas dahsyat, mampu menyelenggarakan event besar hingga pelatihan, ada
lagi yang jago memimpin organisasi; ada lagi, ada lagi, dan ada lagi…. Yah
terus begitu, karena saya yang harus belajar banyak dari mereka.
Tak tik tak
tik tuk…
Dengan
beberapa pertimbangan, saya pun memilih beberapa organisasi –formal maupun
non-formal– dengan satu syarat, kegiatan di luar kampus tidak boleh mengganggu
kegiatan utama yaitu kegiatan di kampus. UKM Karate Inkai, Majlugha, Source of
Inspiration Club (SIC), Gadjah Mada Mengajar (GMM), Komunitas Madura di Jogja
menjadi pilihanku dalam menaung. Tentu saja setiap organisasi memiliki fokus
masing-masing, ada yang fokus dalam berdiskusi, pengajaran, pelatihan, menulis,
sosial dan latihan fisik. Yang pasti semuanya memberikan atmosfir bahwa pemuda
haruslah terus bergerak, menginspirasi, berwawasan dan bertanggung jawab.
Tahun 2011
saya mendapat kesempatan studi ke Turki, sekitar satu tahun saya habiskan
bersama teman-teman Indonesia lainnya di kota Samsun. Setelah berhasil
membentuk wadah PPI Samsun yang saat itu bung Bayu (Bayu Meta Erdoğan, nama fb
nya, sampai saat ini saya tidak tahu nama lengkapnya. He…) kami pilih sebagai
ketua. Kami mengadakan diskusi rutin setiap 2 pekanan. Saat itu kebetulan saya
yang menjadi koordinator diskusi. Diskusinya santai dan ringan, semua anggota
harus menyampaikan materi dengan cara dijadwal bergilir. Materi yang
disampaikanpun bebas, bisa tentang bidang studi yang ditempuh bahkan hobi
seperti teknik bermain sepak bola, yang penting tak sekedar kumpul-kumpul
kosong, namun ada “sesuatu” yang bisa dibawa, direnungkan dan dipikirkan setelah
berpisah. Bukanlah
sesuatu yang berat untuk menghandle kegiatan seperti ini,
lebih-lebih saat itu jumlah kami tidak lebih dari 25 orang.
Tak tik tak
tik tuk…
Oktober
2013, saat mendapatkan kesempatan pertukaran pelajar ke Jerman, di Technische Universitat Braunschweig, seperti biasa, sama halnya dengan makan rujak tanpa sambal itu
rasanya ada yang kurang. Bergabunglah saya bersama para pelajar Internasional
lainnya dalam wadah “Gauss Friends-International Kreis der Gauß Freunde e.V.
–konon pemberian nama Gauss ini untuk mengenang pemikir besar Carl Friedrich
Gauss yang terlahir di kota Braunschweig. Setiap dua minggu sekali kami
bertemu, mendengarkan presentasi dari orang yang sudah terjadwal dan
berdiskusi. Juga senang sekali pernah menghadiri seminar yang diadakan oleh Ikatan
Ahli dan Sarjana Indonesia di Jerman (IASI), saat itu Presidennya Mas Adam
Pamma, dari pertemuan singkat kami, saya mengenal beliau sebagai orang Sulawesi
yang berwawasan luas, sederhana dan ramah.
Saat ini
saya sedang menghabiskan masa-masa akhir studi di Turki sambil melihat dinamika
organisasi yang semakin giat ngadain acara. Saya tidak terlalu memperhatikan
seberapa banyak komunitas yang mewadahi para Mahasiswa untuk berkumpul dan
berdiskusi, menurut saya semakin banyak komunitas yang positif, itu semakin
baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah komunikasi antar komunitas, salah satu
caranya mungkin dengan membentuk forum ketua antar komunitas minimal di setiap
kota, agar jadwal diskusi tidak ada yang bentur bahkan bisa bekerja sama, toh
tujuannya berkumpul bersama meskipun dengan pola pikir yang beragam.
Lebih-lebih bisa bekerja sama dengan pihak KBRI Ankara atau KJRI Istanbul.
Tentu sangat baik sekali. Lumayan kan dapat bantuan konsumsi atau info
tokoh-tokoh hebat Indonesia yang sedang berkunjung atau liburan ke Turki karena
biasanya mereka akan berkomunikasi dengan pihak KBRI atau KJRI sebelum pergi.
Tak tik tak
tik tuk…
Bisa
berdiskusi bersama teman-teman dengan latar belakang keilmuan yang beragam, ada
yang belajar sejarah, sastra, ilmu teknik, sosiologi dan seterusnya, secara
gratis itu suatu hal yang luar biasa. Diskusi merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kemampuan diri, memperkaya perspektif dan mengembangkan jaringan.
Meminjam istilah Skinner dan Watson bahwa manusia pada dasarnya dibentuk
dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
Akhirnya,
sebelum saya mengakhiri tulisan ini izinkanlah secara pribadi saya mengucapkan
selamat ulang tahun kepada RUHUM yang beberapa hari lalu merayakan ulang tahun
ke-2 nya dan GIA yang kemarin (10/2) merayakan ulang tahun yang ke-3 dengan
menghadirkan pembicara spesial Ary Ginanjar. Mari terus budayakan diskusi!
(Pernah dimuat di Cakrawala RUHUM)
@budysugandi
Jembatan Pelajar Indonesia
Dari Indonesia untuk Anak Indonesia
Jembatan Pelajar merupakan gerakan sosial dan rintisan (start-up) teknologi pendidikan dengan tiga fokus utama; Membantu pelajar Indonesia untuk menggali potensi diri, Merupakan situs marketplace pencarian guru keterampilan (skill-based teacher) dan sebagai tempat bagi guru keterampilan untuk mencari siswa. Menyediakan layanan bimbingan bagi pelajar Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan baik ke dalam maupun ke luar negeri.
10.02.00
pena
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar
tinggalkan coment anda, krna satu kata anda sangatlah berarti